RITUAL-RITUAL KEBATINAN ATAU KEJAWEN
Ritual adat kejawen adalah prosesi upacara kegiatan budaya lokal Jawa yang dikreasi untuk memperingati hari atau peristiwa penting yang berhubungan dengan keagamaan. Ritual ini dilakukan untuk mengakomodir budaya lokal agar kearifan lokal tidak hilang dan masih dapat diruntut jejak asal muasalnya. Ritual ini diklaim digagas oleh para Walisanga, yaitu para penyebar agama Islam di pulau Jawa yang amat toleran pada budaya lokal sebelum kedatangan Islam, yaitu budaya animisme dinamisme Hindu dan Budha. Para wali tidak menghilangkan budaya yang sudah mengakar dan sudah ada tetapi mereka cukup mengubah substansinya.
Ritual-ritual berjamaah ini ada yang bersifat bid’ah atau perkara baru dalam agama ada juga yang sudah menjurus kepada kekufuran. Karena di dalamnya memberikan sesaji atau kurban kepada selain Allah. Berikut ini beberapa ritual adat masyarakat Jawa yang diklaim masih kental pengaruh kebudayaan kerajaan Jawa Islam di lingkungan keraton Surakarta dan Jogjakarta.
- Ritual Kirab Pusaka Keraton, yaitu arak-arakan mengusung pusaka keraton (tombak, keris, dll) mengelilingi keraton Surakarta pada tanggal 1 Suro/Muharram. Ritual ini berasal dari ritual hajat dalem wilujengan nagari atau ritual untuk keselamatan negara yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit. Upacara ritual kirab pusaka memiliki sifat religius magis, parcaya pada hal hal yang bersifat magis, keramat, sakral dalam pengertian memiliki 4 hal pokok yaitu arwah leluhur, pepunden, pusaka pusaka keraton dan mahluk ghaib. Jika ditinjau dari pandangan Islam, tentu ritual ini mengandung kesyirikan karena di dalamnya terdapat penggunaan keris, tombak sebagai sarana yang diyakini pemberi keselamatan. Padahal, hanya Allah satu-satunya Dzat yang memberi keselamatan dan mencegah kemudaratan. Allah berfirman dalam QS. Al-Furqon ayat 3: “Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan”.
- Ritual Yaqawiyyu, yaitu ritual memperingati hari meninggalnya/haul Ki Ageng Gribik, yang adalah penyebar agam Islam di wilayah Klaten yang dilakukan tiap bulan Sapar/Saffar. Upacara ini berupa rebutan gunungan kue apem, yang dulunya diberikan oleh Ki Ageng Gribik dalam mengatasi bahaya kelaparan di wilayah Jatinom, Klaten. Dengan demikian maka masyarakat di wilayah ini dapat meneladani kesederhanaan, kemuliaan budi pekerti dan keteladanan hidup yang diberikan oleh Ki Ageng Gribik atau Sunan Geseng.
- Ritual Sekaten, yaitu upacara riual memperingati maulId atau kelahiran Rasul Allah Muhammad ﷺ yang dilaksanakan oleh keraton Surakarta maupun Jogjakarta setiap tanggal 5-12 bulan Mulud/Rabiul Awal. Terdapat 4 makna Sekaten, yaitu :
- Merupakan ungkapan rasa kecintaan pada Nabi Muhammad dalam bingkai budaya Jawa. Sekaten berasal kata syahadatain atau kalimat syahadat.
- Strategi dakwah. Dahulu ketika musik gamelan dibunyikan di dalam masjid, maka orang yang datang ingin mendengarkan diminta untuk mengucapkan kalimat syahadat terlebih dulu.
- Ucapan rasa syukur atas limpahan rahmat dan kesejahteraan Allah pada Raja dan rakyatnya yang ditandai dengan ritual simbolik upacara pemberian Raja yang berupa gunungan hasil bumi yang diperebutkan.
- Buah-buahan dan sayuran merupakan simbol rakyat Jawa yang agraris.
- Ritual Grebeg, yaitu ritual selamatan beriringan mengikuti gunungan tumpeng besar berupa hasil bumi yang diarak. Gunungan tumpeng diarak ke masjid yang diikuti oleh penghulu keraton, ulama dan rakyat. Terdapat 3 grebeg yang dilakukan oleh keraton Surakarta dan Jogjakarta, yaitu;
- Grebeg Mulud, untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad yang diadakan tiapa bulan Mulud/Rabiul Awal.
- Grebeg Syawal, untuk memperingati datangnya Hari Raya Idul Fitri diadakan tiap bulan Syawal.
- Grebeg Besar, untuk memperingati Hari Raya Idul Adha/Hari Raya Qurban yang diadakan tiap bulan Besar/Dzulhijah.
- Ritual Peksi Buraq, yaitu upacara memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad ﷺ yang dilakukan oleh keraton Jogjakarta setiap bulan Rajab. Dalam ritual ini digambarkan buraq dengan simbol 2 ekor burung jantan dan betina yang bertengger di taman sorga. Buraq adalah kendaraan rasul pada saat Isra’ Mi’raj yaitu Isra’ yang merupakan perjalanan dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem, Palestina dan Mi’raj yaitu perjalanan dari Masjidil Aqsa ke sidratul muntaha (langit ke-7) untuk memenuhi panggilan Allah. Poin 2, 3, 4: jika ditinjau dari pandangan Islam, maka ketiga ritual ini termasuk perkara baru dalam agama, dan jika diyakini ritual ini dapat memberi keselamatan dan mencegah kemudaratan maka bisa terjatuh dalam kesyirikan.
- Ritual Sadranan, yaitu upacara pemberian sesaji untuk menghormati arwah leluhur yang diadakan pada setiap tanggal 17-24 bulan Ruwah/Sya’ban. Biasanya ritual ini dilakukan dengan membersihkan kuburan leluhur yang telah meninggal, acara munjung atau berkunjung ke sanak famili dan ditutup dengan acara kenduri. Jika ditinjau dari pandangan Islam, maka ritual ini termasuk kesyirikan karena di dalamnya terdapat pemberian sesaji atau kurban kepada selain Allah. Padahal, seharusnya setiap muslim menujukan segala bentuk peribadatannya termasuk berkurban hanyalah kepada Allah semata. Allah berfirman dalam QS. Al-An’am ayat 163: “Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
Adapun terkait ritual kejawen yang bersifat individual, juga banyak macamnya yang semuanya menjurus kepada kesyirikan, yaitu;
- Tirakat budaya malam Selasa Kliwon.
- Tapa di Gua (bertapa di gua dilakukan untuk mengasah ilmu kebal dan batin)
- Datang ke Pantai Parangkusumo (Ritual di Pantai Parangkusumo merupakan petilasan tempat bertemunya Kanjeng Gusti Raja Panembahan Senopati dan Kanjeng Gusti Ratu Nyai Roro Kidul.)
- Sebar Bunga di Gua Panepen (Gua Panepen dianggap masih virgin bahkan dilarang menggunakan penerangan di dalamnya. Hal ini merupakan bentuk dari menjaga dan melestarikan adat istiadat Bangsawan kerajaan Mataram Kuno).
- Kungkum Raga Sukmo (Kungkum dalam bahasa Jawa artinya berendam. Selain bertapa atau semedi, berendam di dalam gua dengan air kembang juga bagian dari melestarikan ajaran leluhurnya).
- Nenepi (Seperti bertapa dengan posisi tidur tanpa alas apapun, langsung ke tanah di antara batu di dalam gua dengan diselimuti kain jarik).
- Bertapa saat tahun baru.
- Puasa Ngebleng merupakan salah satu jenis laku tirakat yang dilakukan berdasarkan ajaran kejawen kuno. Puasa ini sebenarnya menggambarkan tentang kesungguhan atau kezuhudan seseorang untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Nah yang paling membedakan antara puasa ngebleng dengan puasa yang lainnya yaitu tentang tata caranya. Yang mana khusus pada jenis puasa tersebut, maka seseorang yang sedang menjalankannya, selain tidak boleh makan dan minum. Orang tersebut juga tidak diperbolehkan untuk tidur, minimal selama 24 jam nonstop. Tidak hanya itu, beberapa guru kejawen juga memerintahkan orang orang yang sedang menjalankan puasa ngebleng untuk tidak keluar dari kamar. Boleh keluar namun hanya sebentar, yaitu sekedar untuk buang hajat saja. Tujuan puasa ngebleng ini bermacam-macam salah satunya untuk pengasihan.