Ibadah i’tikaf bertujuan mulia yaitu untuk menggapai malam lailatul qadar yang punya keutamaan ibadah yang dilakukan lebih baik daripada 1000 bulan. Di antara tujuan i’tikaf adalah untuk menggapai malam tersebut. Dan yang paling utama bila i’tikaf dilakukan di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Mudah-mudahan kita diberikan jalan untuk melakukan ibadah i’tikaf tersebut demi mencontoh sunnah Nabi kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Ada hadits yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam kitab beliau Bulughul Marom, yaitu hadits no. 699 tentang permasalahan i’tikaf.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:- أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172).
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Hadits di atas sebagai dalil mengenai anjuran i’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus merutinkan hal itu hingga beliau meninggal dunia.
2- Hikmah dikhususkan sepuluh hari terakhir dengan i’tikaf dapat dilihat pada hadits Abu Sa’id Al Khudri di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ
“Aku pernah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari Ramadhan yang pertama. Aku berkeinginan mencari malam lailatul qadar pada malam tersebut. Kemudian aku beri’tikaf di pertengahan bulan, aku datang dan ada yang mengatakan padaku bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari yang terakhir. Siapa saja yang ingin beri’tikaf di antara kalian, maka beri’tikaflah.” Lalu di antara para sahabat ada yang beri’tikaf bersama beliau. (HR. Bukhari no. 2018 dan Muslim no. 1167). Jadi, beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– melakukan i’tikaf supaya mudah mendapatkan malam lailatul qadar.
3- I’tikaf itu disyari’atkan setiap waktu, namun lebih ditekankan lagi di bulan Ramadhan, lebih-lebih lagi di sepuluh hari terakhir dari bulan suci tersebut.
4- Hukum i’tikaf masih tetap berlaku dan tidak terhapus, juga bukan khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena istri-istri beliau pun beri’tikaf setelah beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– wafat.
5- Dibolehkannya i’tikaf bagi wanita. Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa disunnahkan bagi para wanita untuk beri’tikaf sebagaimana kaum pria. Namun dengan syarat, (1) i’tikaf tersebut dilakukan dalam keadaan suci -bagi ulama yang mensyaratkan masuk masjid harus suci dari haidh-, (2) harus bebas dari menimbulkan fitnah (godaan bagi pria), dan (3) diizinkan oleh suami.
Kenapa harus diizinkan oleh suami? Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ketika itu ada kecuali dengan izinnya” (HR. Bukhari no. 5195). I’tikaf lebih dari pada itu, wallahu a’lam.
Semoga Allah memberi taufik pada kita untuk menghidupkan hari-hari terakhir bulan Ramadhan dengan ibadah i’tikaf. Hanya Allah yang memberi taufik dan petunjuk.
Sumber https://rumaysho.com