INTI AJARAN KEJAWEN BAG. 2
- Konsep Kitab Suci. Kitab suci penganut Sapto Darmo adalah yang diusahakan oleh Bopo Panuntun Gutama, yang tidak lain adalah pendirinya itu sendiri, Hardjosapuro. Menurut pandangan mereka, kitab ini berasal dari kumpulan ‘wahyu’ dari Tuhan yang memiliki sifat Pancasila Allah. Kitab Suci penganut Sapto Darmo sebagaimana disebutkan di muka adalah yang diusahakan oleh Bopo Panuntun Gutama, yaitu Hardjosapuro. Menurut pandangan mereka, kitab suci mereka itu berasal dari ‘wahyu’ yang berasal dari Tuhan yang memiliki sifat Pancasila Allah. Itu berarti bahwa ‘kitab suci’ tersebut baru, lahir sekitar 40 tahun yang lalu.
Aqidah Islam mengajarkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup kenabian dan kerasulan. Dan al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala; karena tidaklah kitab suci itu diturunkan melainkan melalui para Rasul; dan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi dan Rasul. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (40)
Artinya: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup Nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ahzab [33] : 40)
Dengan meyakini ‘kitab suci’ yang dibikin sekitar 40 tahun itu berarti sama saja dengan mengingkari Muhammad sebagai penutup para Nabi dan Rasul. Itu berarti ajaran ini secara tidak langsung mengakui dan menetapkan adanya Nabi baru setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu ajaran seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
- Konsep tentang Alam. Konsep alam dalam pandangan Sapto Darmo adala meliputi 3 alam, yaitu:
- Alam Wajar yaitu alam dunia sekarang ini.
- Alam Abadi yaitu alam langgeng atau alam kasuwargan. Dalam agama Islam maknanya mendekati alam akhirat.
- Alam Halus yaitu alam tempat roh-roh yang gentayangan (berkeliaran) karena tidak sanggup langsung menuju alam keswargaan. Roh-roh tersebut berasal dari manusia yang selama hidup di dunia banyak berdosa.
Aliran Sapto Darmo meyakini adanya alam halus yaitu alam tempat roh-roh yang gentayangan atau berkeliaran karena tidak sanggup langsung menuju alam keswargaan. Kata mereka, roh-roh tersebut berasal dari manusia yang selama hidup di dunia banyak berdosa. Aqidah Islam tidak mengenal alam yang demikian itu. Setelah manusia meninggal dunia –bagaimanapun cara meninggalnya– maka selanjutnya ia berada dalam suatu alam yang disebut dengan alam kubur atau alam barzakh, sebagaimana dijelaskan oleh al-Allamah Ali bin Ali bin Muhammad bin Abil ‘Izzi. “Ketahuilah, bahwa adzab kubur adalah adzab barzakh. Semua orang yang mati dalam keadaan membawa dosa berhak mendapat adzab sesuai dengan dosa yang dilakukannya, baik jasadnya dikuburkan, dimakan serigala, terbakar sehingga menjadi abu, melayang-layang di angkasa, disalib, atau tenggelam di lautan. Adzab kubur akan dirasakan oleh si mati dengan jasad dan ruh-nya, meski jasadnya tidak terkubur. Hal-hal ghaib yang berkaitan dengan bagaimana duduknya orang yang mati ketika di kubur, seperti apa tulang rusuknya, dan hal-hal yang semacamnya, maka wajib kita pahami dan yakini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah; tidak boleh kita menambah-nambah ataupun menguranginya…”
Allah berfirman tentang alam kubur atau alam Barzakh:
لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (100)
Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan. (QS. Al-Mu’minun: 100)
Adapun terkait pembagian alam, Ibnu Abil ‘Izzi pada alenia berikutnya menjelaskan; “Kesimpulannya adalah bahwa alam itu ada tiga; alam dunia (dar ad-dunya), alam barzakh (dar al-barzakh), dan alam akhirat (dar al-qarar). Allah telah memberlakukan hukum-hukum tertentu bagi tiap-tiap alam tersebut, dan manusia (jasad maupun ruh) akan berjalan sesuai dengan hukum tersebut. Allah menjadikan hukum-hukum dunia berlaku bagi jasad dan ruh sesuai keadaannya di dunia. Demikian juga; Allah menjadikan hukum-hukum di alam barzakh berlaku bagi jasad dan ruh sesuai keadaannya di alam barzakh. Kemudian, tatkala datang hari dibangkitkannya semua jasad dan manusia dari kubur mereka, maka akan berlakulah hukum-hukum yang ada di sana; pemberian pahala dan siksa, juga kepada ruh dan jasad secara bersama-sama.”
- Konsep Peribadatan. Konsep ibadah dalam Sapto Darmo tercermin pada ajaran mereka tentang “Sujud Dasar”. Sujud Dasar terdiri dari tiga kali sujud menghadap ke Timur. Sikap duduk dengan kepala ditundukkan sampai ke tanah, mengikuti gerak naik sperma yakni dari tulang tungging ke ubun-ubun melalui tulang belakang, kemudian turun kembali. Amalan seperti itu dilakukan sebanyak tiga kali. Dalam sehari semalam, pengikut Sapto Darmo diwajibkan melakukan Sujud Dasar sebanyak 1 kali, sedang selebihnya dinilai sebagai keutamaan.
Konsep peribadatan Sapto Darmo tercermin dalam ajaran ‘Sujud Dasar’ yang pengikutnya diwajibkan satu kali dalam sehari semalam. Dari konsep ini diketahui bahwa Sapto Darmo tidak semata-mata berupa ajaran moral atau etika, tetapi aliran ini disamping memiliki sistem aqidah; juga memiliki sistem ibadah tersendiri yang semuanya bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, tidak perlu kaget kalau mendengar penganut aliran ini menolak untuk melaksanakan shalat karena memang mereka mempunyai sistem ibadah (shalat) tersendiri. Pada hakikatnya, penolakan mereka terhadap shalat sudah cukup untuk menggolongkan mereka ke dalam barisan orang-orang di luar Islam (kafir).
Dalil-dalil tentang kafirnya orang yang menolak shalat dapat kita temui di banyak perkataan dan tulisan para ulama’, di antaranya dijelaskan oleh Sayid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnah, sebagai berikut; “Orang yang meninggalkan shalat karena menolak dan mengingkari akan kewajibannya berarti kufur dan keluar dari agama Islam menurut ijma’ kaum muslimin.” Padahal, orang yang meninggalkan shalat, tetapi masih mengimani dan meyakini kewajibannya, karena malas, lalai atau alasan-alasan lain yang tidak syar’i, terdapat hadits-hadits yang menjelaskan akan perintah untuk membunuhnya (baik karena anggapan kekafirannya atau sebagai hukuman atas keengganannya melaksanakan kewajiban). Hadits-hadits yang menerangkan hal tersebut di antaranya ialah:
Pertama, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.
Artinya; “Pembatas seseorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Kedua, dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ تَرْكُ الصَّلَاةِ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Artinya; “Sesungguhnya pengikat antara kami dan mereka adalah shalat; maka barangsiapa meninggalkan shalat berarti telah kafir.” (HR. Ahmad)