Sumber Kesesatan: Kasyaf dan Ilham
Kebenaran sejati adalah apa yang diwahyukan Alloh ﷻ kepada Rosul-Nya ﷺ berupa al-Qur’an dan as-Sunnah yang dipahami dengan cara pemahaman para salafussholih.
Setelah mengetahui itu, tidak kalah pentingnya pula kita mengetahui secara jelas jalan kebatilan atau sumber – sumber kesesatan agar kita tidak terkecoh dengannya. Sumber kesesatan pertama yang dibahas dalam artikel ini adalah:
- Kasyaf dan Ilham
Kasyaf adalah tersingkapnya sebagian yang tersembunyi dan tidak tampak, mengetahui gerak-gerik jiwa dan niat serta kelemahan sebagian manusia.
Sebagian penganut tasawuf meyakini bahwa pintu kasyaf terbuka bagi para wali sehingga mereka bisa melihat kebenaran dengan terang benderang. Bahkan kebenaran yang tampak bagi para wali tersebut lebih tinggi tingkatannya daripada apa yang tampak bagi para ulama syariat. Yang mereka maksud dengan ulama syariat adalah para ulama yang mengambil ilmunya lewat belajar, membaca dan menghafal.
Wakaf Qur’an untuk Santri Penghafal Qur’an: 1 Huruf = 10 Kebaikan
Sebagian tokoh tasawuf berkata, “Para nabi dan wali bisa meraih kasyaf, dan dalam hati mereka bersinar cahaya kebenaran. Hal tersebut mereka peroleh bukan dengan belajar, menulis dan mengkaji, tetapi dengan zuhud terhadap dunia dan berlepas diri dari semua yang terkait dengan dunia, juga dengan mengosongkan hati dari pikiran-pikiran dunia. Setelah itu, dengan menyendiri di tempat yang khusus sambil terus menerus berzikir menyebut Alloh, Alloh, Alloh… disertai dengan hati yang hadir dan pikiran yang dipusatkan, hingga sampai pada keadaan ia membiarkan lidahnya berjalan sendiri seolah-olah kalimat itu mengalir dari lidahnya.
Ketika itu, ia tidak memiliki pilihan dalam menghadirkan rahmat Alloh, kondisinya ketika itu sedang menanti untuk mendapatkan “sentuhan rahmat” dari Alloh ﷻ. Maka ia tinggal menunggu apa yang akan dibukakan Alloh untuknya dari limpahan rahmat-Nya sebagaimana yang Dia bukakan kepada para nabi dan wali-Nya dengan jalan ini.
Menyendirinya itu harus di sebuah tempat yang gelap. Jika tidak ada tempat yang gelap, maka hendaklah ia menutupi kepalanya dengan jubahnya atau menyelimuti wajahnya dengan mantelnya. Maka dalam keadaan seperti ini ia akan mendengar seruan Alloh dan akan menyaksikan kehadiran Nabi yang mulia.
Ahmad bin Abdul Halim rohimahulloh pernah membantah tokoh tasawuf yang meyakini bahwa standar untuk menerima wahyu adalah kesesuaian dengan kasyaf dan penyaksian secara langsung. Ini adalah asal-usul penyimpangan yang sangat nyeleneh. Karena, setiap orang yang memperoleh kasyaf, jika tidak menimbangnya dengan al-Qur’an dan as-Sunnah niscaya akan terperosok ke dalam kesesatan.
Siapapun yang termasuk dalam ahli kasyaf, mereka tidak akan lebih mulia daripada Umar bin Khottob rohdhiyallohu’anhu. Oleh karena itu, mereka semua harus menempuh seperti apa yang ditempuh oleh Umar rodhiyallohu’anhu dalam berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan menjadikan apa yang dibawa Rosul ﷺ mengikuti kasyaf dan ilham yang didapatnya.”
Rosululloh ﷺ bersabda:
(( إِنَّهُ قَدْ كَانَ فِيمَا مَضَى قَبْلَكُمْ مِنَ اْلأُمَمِ مُحَدَّثُونَ، وَإِنَّهُ إِنْ كَانَ فِي أُمَّتِي هَذِهِ مِنْهُمْ فَإِنَّهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ ))
“Sesungguhnya pada umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang mendapat ilham. Jika pada umatku ini ada orang yang seperti mereka, tentulah ia Umar bin Khottob.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Sebagai contoh kasyaf yang diklaim oleh sebagian ahli tasawuf adalah apa yang dikatakan oleh seorang tokoh Shufi, al-Jiili. Ia berkata dalam kitabnya, al-Insan al-Kamil, “Telah dibukakan bagiku tabir sehingga aku bisa melihat alam bagian bawah dan atasnya. Aku bisa melihat para malaikat seluruhnya, dan aku dipindah-pindah dari satu langit ke langit yang lainnya. Pada tingkatan ini berkumpul-lah para nabi dan wali, aku berdiri di tempat itu, maka aku melihat semua rosul dan nabi, para wali dan malaikat yang tinggi dan malaikat muqorrobin (yang dekat dengan Alloh) juga malaikat yang bertugas mengatur alam, dan telah dibukakan bagiku hakikat yang sangat banyak dari sejak zaman dahulu hingga akhir zaman.”
Pernyataan tersebut mengandung kebatilan yang besar. Sebab, itu artinya telah dibukakan baginya perkara-perkara ghoib yang belum pernah diraih oleh manusia-manusia terbaik setelah para nabi, yaitu para sahabat Rosululloh ﷺ.
Bersambung…