Sikap Berlebih-lebihan dalam Agama
Sepanjang sejarah umat manusia, sikap berlebih-lebihan dalam menerapkan agama selalu memunculkan kesesatan.
Sebagai contoh adalah kelompok Khawarij, Murji’ah dan Syi’ah. Adapun Khowarij, mereka berlebih-lebihan dalam memahami ayat-ayat peringatan dan ancaman. Mereka berpaling dari ayat-ayat pengharapan, janji pengampunan dan taubat. Dengan sikap tersebut mereka mengkafirkan para pelaku dosa besar selain syirik. Sebaliknya, Murji’ah berlebih-lebihan dalam agama dengan memegang ayat-ayat yang berisi kabar gembira dan berpaling dari ayat-ayat ancaman. Akibatnya mereka menganggap remeh dosa-dosa besar dan menganggap bahwa para pelaku dosa besar itu adalah orang mukmin yang sejati dan bahwa dosa-dosa besar tidaklah membahayakan keimanan.
Sedekah Beras untuk Santri, Yatim dan Dhuafa
Adapun Syi’ah mereka berlebih-lebihan dalam mencintai dan menyanjung ahlul bait (keluarga Nabi ﷺ) hingga sampai pada derajat menuhankan mereka.
Demikian pula halnya para penganut paham sufi. Mereka berlebih-lebihan dalam menyanjung Rosululloh ﷺ. Sebagian mereka meyakini bahwa Rosululloh ﷺ memiliki beberapa sifat ketuhanan, sehingga berhak diminta pertolongannya untuk menyembuhkan orang yang sakit, melimpahkan keberkahan dan sebagainya.
Seperti Al-Bushiri, ia berkata di dalam syairnya yang terkenal, al-Burdah, ketika menyanjung Rosululloh ﷺ: “Sesungguhnya di antara kedermawananmu adalah dunia dan akhirat. Dan di antara ilmumu adalah ilmu tentang Lauhul Mahfuz dan al-Qolam (yaitu ilmu tentang segala takdir di alam semesta ini).”
Lalu Yusuf an-Nabhani, ia menukil perkataan Syamsudin at-Tuwaji al-Mishri yang menyifati Rosululloh ﷺ: “Wahai utusan Alloh, sesungguhnya aku ini lemah, maka sembuhkanlah aku karena sesungguhnya engkau adalah pangkal kesembuhan. Wahai utusan Alloh, bila engkau tidak menolongku, maka pada siapa lagi menurutmu aku akan bersandar.”
Betapa jauh penyimpangan mereka dari akidah yang benar, padahal Alloh ﷻ telah berfirman:
قُل لَّآ أَمۡلِكُ لِنَفۡسِي نَفۡعٗا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُۚ وَلَوۡ كُنتُ أَعۡلَمُ ٱلۡغَيۡبَ لَٱسۡتَكۡثَرۡتُ مِنَ ٱلۡخَيۡرِ وَمَا مَسَّنِيَ ٱلسُّوٓءُۚ إِنۡ أَنَا۠ إِلَّا نَذِيرٞ وَبَشِيرٞ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ
“Katakanlah hai Muhammad: “Aku tidaklah memiliki manfaat atau dapat mencegah bahaya dari diriku sendiri kecuali yang Alloh kehendaki. Kalau seandainya aku mengetahui yang ghoib, maka tentunya aku dapat memperbanyak kebaikan untukku dan tidak ada satupun bahaya yang menimpaku. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al-A’rof [7]: 188)