Sumber Kesesatan: Akal
Dalam syariat Islam, akal adalah sandaran dibebankannya seseorang untuk menjalankan syariat. Yang dimaksud dengan berakal adalah kemampuan berfikir dengan sehat dan normal serta tidak terganggunya kesadaran seseorang.
Rosululloh ﷺ bersabda:
(( رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبَرَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيقَ ))
“Catatan amal perbuatan manusia tidak ditulis oleh malaikat dari tiga golongan: orang yang tidur hingga terbangun, anak kecil hingga baligh dan orang gila hingga waras.” (HR. Abu Dawud, Tirmizi dan Ibnu Majah)
Akal sehat yang bebas dari pengaruh hawa nafsu dan syubhat tidak akan bertentangan dengan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah yang shohih dalam keadaan bagaimanapun. Syariat tidak datang untuk membawa sesuatu yang bertentangan dengan akal, walaupun terkadang syariat datang membawa sesuatu yang tidak dipahami oleh akal. Demikian itu disebabkan karena pencipta akal adalah Alloh dan yang menurunkan wahyu adalah Alloh juga dan Dia telah men-jadikan akal sesuai dengan wahyu.
Perumpamaan yang sangat bagus dalam kedudukan akal dengan wahyu adalah sesungguhnya akal ibarat mata dan wahyu ibarat cahaya. Jika tidak ada cahaya, maka mata tidak akan bisa melihat apapun selamanya, sehingga di saat itu mata tidak berguna sama sekali. Begitu juga jika tidak ada mata, maka cahaya tidak dapat digunakan sama sekali.
Wakaf Qur’an untuk Santri Penghafal Qur’an: 1 Huruf = 10 Kebaikan
Walaupun peranan akal sangat penting, tetapi peranan dan kemampuannya sangat terbatas. Ketika akal diberi peranan lebih dari batas untuk memahami dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah, bahkan dibebankan untuk membuat bentuk-bentuk yang menyaingi wahyu, maka sesatlah akal tersebut.
Asy-Syafi’i rohimahulloh berkata:
إِنَّ لِلْعَقْلِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ لِلْبَصَرِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya akal itu memiliki batas akhir seperti penglihatan yang juga memiliki batas akhir.”
Ahlussunnah wal jamaah tidak pernah mengingkari orang yang berpegang dengan akal sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi mereka mengingkari sikap mendahulukan akal daripada wahyu, mempergunakannya bukan pada tempatnya, yaitu memikirkan hal-hal yang hakikatnya hanya diketahui oleh Alloh ﷻ semata.
Golongan sesat yang pertama kali menjadikan akal sebagai sumber ilmu adalah Jahmiyah, kemudian kaum Mu’tazilah. Sikap mereka menjadikan akal sebagai sumber pengambilan ilmu disebabkan karena dua hal:
- Diterjemahkannya kitab-kitab Yunani pada masa pemerintahan Kholifah al-Makmun dan pada masa-masa setelahnya yang mengagungkan akal.
- Munculnya ilmu filsafat.
Menurut ilmu filsafat, akal menjadi sumber pengambilan ilmu yang terpercaya. Adapun dalil syar’i terkadang dipakai untuk menguatkan, bukan sebagai sandaran. Padahal akal manusia semata betapapun hebatnya tidak akan mampu mengetahui hakikat zat atau bentuk sesuatu yang ghoib tanpa informasi yang shohih dari wahyu yang pasti kebenarannya.
Manusia yang mengagungkan akal akan tersesat. Karena akal manusia tidak akan dapat menganalisa, merangkai, atau mengkhayalkan sesuatu kecuali bila bahan-bahannya sudah ada dalam memori otaknya. Sedangkan bahan-bahan itu tidak akan ada dalam memori kecuali melalui interaksi panca indra kita dengan alam nyata. Padahal alam ghoib tidak pernah “diakses” oleh panca indra sama sekali.
Sebagai contoh: kita tidak mungkin meminta orang yang buta sejak lahir untuk membayangkan warna biru, dan kalau ia memaksakan diri membayangkan pastilah bayangannya itu keliru, karena ia sama sekali tidak pernah melihat warna apapun sehingga tidak ada bahan dasar untuk membayangkannya.
Orang yang tuli sejak lahir tidak akan mampu membayangkan suara burung tertentu karena ia tidak pernah mendengar apapun, sehingga tidak ada bahan-bahan untuk membayangkannya.
Begitulah kita melihat kesesatan akidah yang muncul akibat akal yang dijadikan hakim penentu keimanan kepada yang ghoib tanpa mau melihat dan mengikuti petunjuk wahyu yang dibawa oleh para rosul alaihimusalam. Sehingga akal dapat menjadi sumber kesesatan dalam beragama jika tidak bersandar kepada wahyu.