Orang yang merasakan manisnya ibadah terlihat dari keseriusannya dalam menjalankannya. Ia merasa nikmat dan jiwanya tentram bila sedang beribadah, walau keringat bercucuran atau darah menetes dari raganya. Ia akan sedih dan menyesal, jika ada waktu yang berlalu, tetapi tidak termanfaatkan untuk beribadah kepada Allah SWT.
Lihatlah Bilal bin Rabbah. Setelah iman merasuk ke tiap relung jiwanya, siksaan berat yang ditimpakan algojo musyrik Quraisy tidak mampu mengusik keteguhannya untuk mentauhidkan Allah SWT. Baginya iman serasa gula-gula.
Kalimat yang keluar dari lisannya yang senantiasa berdzikir hanya satu, “Ahad. Ahad. . “. Allah itu Esa. . Allah satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi.
Kenikmatan beribadah tidak bisa didapatkan kecuali orang tersebut telah merasakan manisnya iman. Untuk itu Rasulullah SAW mengajarkan banyak cara untuk menggapai kenikmatan iman. Beliau bersabda:
“Ada tiga hal, yang jika tiga hal itu ada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu); pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya. Kedua, benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya, sebagaimana bencinya ia jika dicampakkan ke dalam api. Ketiga, Mencintai seorang muslim, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. “ (Muttafaq ‘alaih).
Bila dalam jiwa seorang muslim masih ada cinta kepada makhluk melebihi cinta kepada Allah, ia tidak akan merasakan manisnya iman. Juga tidak bisa merasakan lezatnya beribadah. Ia akan terbebani dengan ibadah-ibadah yang ada. Ketika puasa, ia merasa berat sekali, dan berharap waktu petang segera datang.
Jika seorang muslim mencintai orang lain atas dasar dunia atau hanya sebatas hubungan kekerabatan, ia akan gagal menikmati manisnya iman. Juga tidak bisa menikmati ibadah kepada Allah. Saat melaksanakan shalat tarawikh, ia tidak bisa menikmati bacaan imam, lamanya berdiri terasa menyiksa kaki, tidak juga tenang melakukan ruku’ maupun sujud. Ia merasakan shalat bak siksaan.
Begitu pula orang yang dalam hatinya masih tersimpan keinginan dan kerinduan pada kemaksiatan, walau sebesar biji sawit, diharamkan baginya kenikmatan iman dan kelezatan beribadah. Tatkala membaca Al-Qur’an, pikirannya bergentayangan ke tempat-tempat haram. Ia tidak akan merasakan kelezatan beribadah. Ibadah seakan-akan penjara baginya.
Melazimi Dzikrullah
Membiasakan lisan berdzikir termasuk sarana yang paling ampuh untuk bisa menikmati ibadah. Sebab dengan dzikir, hati menjadi tenang, pikiran terasa nyaman, dan beribadah pun menjadi khyusu’.
Pernah salah seorang sahabat menemui Rasulullah SAW untuk curhat:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam yang dibebankan kepada kami sudah sangat banyak. Maka tunjukkan kepada kami sebuah pintu, yang membuat kami mampu mengerjakan syariat yang banyak tersebut.”
Ya, sahabat ini sadar, syariat Islam dan beban untuk menegakkan Islam begitu banyak. Apalagi di bulan Ramadhan, setumpuk agenda ibadah di depan mata kita. Ada keinginan menggebu-gebu untuk melakukan itu semua, tetapi terkadang muncul rasa pesimis dan kegersangan jiwa saat melaksanakannya.
Inilah membuat beliau meminta Rasulullah SAW untuk menunjukkan tips untuk mengelola ibadah-ibadah yang banyak tersebut; seperti shalat lima waktu, tilawah, tarawikh, i’tikaf, sedekah, mengurusi pengajian rutin hingga menjadi panitia Ramadhan. Sementara di saat yang sama ada tanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga yang meningkat.
Rasulullah SAW memberikan arahan kepada sahabat tersebut, dan tentunya untuk umat Islam lainnya. Beliau bersabda;
“Hendaklah lisanmu senantiasa basah karena berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla. “ (HR. Ahmad)
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ini menjadi penghibur bagi kaum muslimin, terkhusus para aktifis. Untuk membuat iqomatuddin terasa ringan, dan untuk menggapai manisnya ibadah, ia harus melazimi dzikir. Lisannya tidak boleh kering dari mengingat Allah.
Dzikir menjadi sarana yang mengantarkan manisnya ibadah. Sebab, setan akan menjauh dari orang yang senantiasa menghiasinya dirinya dengan dzikir. Jika setan telah menjauh, ibadah terasa sangat ringan dan nikmat. Manusia yang jauh dari aktifitas dzikrullah, akan menjadi teman setan. Setan akan berusaha menggodanya dari berbagai arah. Allah SWT berfirman:
“Siapa yang terputus dari mengingat Allah –ar-Rahman-, maka kami akan mengikat setan bersamanya. Sehingga setan menjadi teman dekatnya.” (QS. Az-Zukhruf: 36).
Menjauhi Dosa dan Maksiat.
Kenikmatan ibadah Ramadhan hampir mustahil didapatkan oleh para pendosa. Sebab dosa akan menghalangi seseorang dari menikmati ibadah, bahkan bisa menjadi penghalang melakukan kebaikan. Betapa banyak syahwat yang dilakukan sesaat bisa menyebabkan kehinaan dalam waktu yang lama, betapa banyak dosa yang sedikit namun bisa menghalangi pelakunya dari shalat malam bertahun-tahun, dan betapa banyak pandangan yang haram bisa menghalangi pelakunya dari cahaya bashirah (Ilmu dan Hikmah).
Sungguh indah jawaban Wahb bin al-Wird ketika ditanya, “apakah orang yang bermaksiat bisa mendapatkan lezatnya ibadah?”
Beliau menjawab, “Sekali-kali tidak, dan tidak pula bagi orang yang sekedar berniat melakukannya.”
Ibnu al-Jauzi berkata, “bisa saja seorang hamba melepaskan pandangannya (terhadap yang haram) sehingga Allah mengharamkannya meraih bashirah (yang berupa ilmu dan hikmah). Atau ia melepaskan lisannya (dengan ucapan haram) sehingga hatinya diharamkan dari kesucian. Atau ia lebih memilih yang syubhat (belum diketahui kehalalan dan keharamannya) dalam hal makanannya sehingga iapun menggelapkan keadaan batinnya sendiri, diharamkan dari shalat malam dan manisnya bermunajat kepada Allah.” (Shaid al-Khatir, 34).
Maksiat adalah racun dan penyakit dalam hati, seorang imam tabiin, Yahya bin Mu’adz berkata, “sakitnya tubuh dengan luka, sedangkan sakitnya hati dengan dosa-dosa. Sebagaimana tubuh tidak merasakan lezatnya makanan ketika sakit, demikian halnya hati yang tidak bisa merasakan lezatnya ibadah saat bergelimang dosa.” (Dzammu al-Hawa, hl. 68)
Mencari Komunitas Shalih dan Menceraikan Dunia
Hidup di komunitas yang baik adalah tuntutan iman dan kunci keistiqamahan di jalan Allah. Ibadah Ramadhan tidak akan sejuk dilaksanakan tanpa didukung oleh komunitas yang baik. Sulit dibayangkan besarnya godaan puasa, jika hidup di negeri Barat. Sebab mata selalu melihat aurat di siang hari, dan hidung sulit menghindari aroma masakan lezat. Belum kemaksiatan lainnya seperti zina yang sudah menjadi budaya.
Sulit dibayangkan bagaimana susahnya menjaga shalat tarawikh dengan sempurna sampai akhir Ramadhan, jika hidup di lingkungan Syi’ah. Sebab, mereka menganggap shalat tarawikh berjamaah sebagai bidah yang dibuat oleh Umar bin Khattab.
Inilah hikmah dari firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (shiddiq). “ (QS. At-Taubah: 119).
Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mencari teman yang baik dan bergaul dengan mereka. Walau, mereka dari kalangan jelata dan budak. Allah berfirman:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28)
“Dulu jika saya mendapati hatiku dalam keadaan keras,” kata Jakfar bin Sulaiman, “saya mendatangi Muhammad bin Wasi’ dan memandang wajahnya yang seperti orang yang sangat sedih karena kematian anaknya (sehingga kekerasan di hatinya mencair).” (al-Hilyah, 2/347)
Ibnul Mubarak berkata, “tiap memandang Fudhail bin ‘Iyadh, saya merasa sedih (karena rasa takut kepada Allah) dan memarahi diriku sendiri.” Kemudian iapun menangis. (Tarikh Islam, 2/336)
Seorang tabi’in bernama Ahmad bin Harb mengisahkan pengalamannya mencari kenikmatan ibadah, “aku beribadah kepada Allah selama 50 tahun namun tidak mendapatkan manisnya ibadah. Sampai aku meninggalkan tiga perkara;
Pertama, aku tinggalkan ridha manusia sehingga aku mampu menyampaikan kebenaran.
Kedua, meninggalkan persahabatan dengan orang-orang fasik hingga saya mendapatkan persahabatan orang-orang shalih.
Ketiga, meninggalkan kelezatan dunia sehingga saya mendapatkan kelezatan akhirat.” (Siyar A’lam Nubala’, 11/34)
Inilah beberapa sarana yang bisa membantu seorang mukmin menggapai manisnya ibadah di bulan Ramadhan. Sehingga ia akan selalu merindukan datangnya bulan Ramadhan. Semoga Allah mengaruniakan kita kenikmatan iman dan kelezatan ibadah kepada-Nya. Amin ya rabbal alamin.
Sumber : https://www.an-najah.net