ALIRAN DAN MAKNA KEBATINAN
- Rahnip M., B.A. dalam bukunya Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan, menjelaskan, “Kebatinan adalah hasil pikiran dan angan-angan manusia yang menimbulkan suatu aliran kepercayan dalam dada penganutnya dengan membawakan ritus tertentu, bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang gaib, bahkan untuk mencapai persekutuan dengan sesuatu yang mereka anggap Tuhan secara perenungan batin, sehingga dengan demikian (menurut anggapan mereka) dapat mencapai budi luhur untuk kesempurnaan hidup kini dan akan datang sesuai dengan konsep sendiri.”
- Dari pengertian di atas didapat beberapa istilah kunci dari ajaran kebatinan yaitu,
- Merupakan hasil pikiran dan angan-angan manusia.
- Memiliki cara beribadah (ritual) tertentu.
- Yang dituju adalah pengetahuan ghaib dan terkadang juga malah bertujuan menyatukan diri dengan tuhan.
- Hasil akhir adalah kesempurnaan hidup dengan konsep sendiri.
- Aliran Kebatinan atau sekarang lebih dikenal dengan “kepercayaan”, lengkapnya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah suatu sistem kepercayaan atau sistem spriritual yang ada di Indonesia selain agama, aliran, faham, sekte atau madzhab dari agama tersebut, serta bukan pula termasuk kepercayaan adat.
- Kebatinan juga biasa disebut dengan Kejawen, Kejawen (bahasa Jawanya Kejawèn) menurut wikipedia adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Penamaan “Kejawen”, dipilih karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Syair-syairnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, Kejawen merupakan bagian dari agama lokal Indonesia. Di wikipedia diceritakan bahwa seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis tentang agama ini dalam bukunya yang ternama The Religion of Java. Olehnya Kejawen disebut “Agami Jawi.”
- Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa. Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah”). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada kegiatan perluasan ajaran (misi) namun pembinaan dilakukan secara rutin.
- Simbol-simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktek klenik dan perdukunan.
- Ajaran-ajaran Kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman. Ilmu Kebatinan selain disebut sebagai ilmu Kejawen kadang-kadang disebut juga ilmu kerohanian, ilmu kejiwaan, ilmu kasukmaan, ilmu kesunyatan, ilmu kasampurnaan, atau juga ilmu ka-Allah-an.
- Kembali kita menggunakan istilah Kebatinan, masing-masing perguruan dipimpin oleh guru Kebatinan yang mengajarkan ilmunya kepada pengikut-pengikutnya. Dengan adanya berbagai macam perguruan yang ajarannya kadang-kadang berbeda karakteristiknya antara satu sama lain, oleh sebab itu terdapat berbagai macam aliran Kebatinan. Ilmu yang diajarkan, yang pada umumnya menurut pengakuan para guru itu diperoleh atas dasar wahyu atau bahasa jawanya wangsit dari Tuhan.
- Sementara itu dalam mistik Kejawen atau Kebatinan, tujuan mistiknya dikenal dengan istilah manuggaling kawula gusti, atau juga jumbuhing kawula gusti, serta masih terdapat istilah-istilah lain seperti gambuh (dalam aliran sumarah), wor winoring loro-loroning atunggal, yang semuanya menggambarkan kondisi persatuan antara kawula (manusia) dengan gusti (Tuhan), antara Tuhan dengan manusia lebur menjadi satu, dengan disimbolkan sebagai curiga manjing ing rangka, rangka manjing curiga (keris yang bersatu dengan rangkanya).
- Tujuan untuk mencapai manuggaling kawula gusti itu dilandasi oleh suatu pemikiran teologis-metafisis “sangkan paraning dumadi” (asal dan kembalinya segala yang ada). Dari pandangan filosofis tersebut dapat diketahui ajaran-ajaran tentang Tuhan, manusia dan alam, siapakah manusia, dari mana asal usulnya, serta bagaimana hubungannya dengan Tuhan.